Memaknai kata kemerdekaan sebenarnya sangat mudah untuk diucapkan, tapi menjadikannya satu dalam jiwa untuk menimbulkan kobaran api dalam dada itu yang sulit dilakukan. Agustus menjadi bulan yang sangat nasionalis buat masayarakat Indonesia karena pada bulan ini dengan semangat yang membabi buta kemerdekaan berhasil direngkuh oleh bangsa Kita baik secara de facto maupun de jure. Ini yang terlihat. Lalu, masihkah ada yang tak terlihat? Masih saudaraku, masih sangat banyak. Lihat para elit politik yang dengan gagah mengenakan jas dan dasi yang menunjukkan posisi dimana Dia berada dalam kasta masyarakat. Bukankah kebijakan-kebijakan yang dilakukan selama ini hanya kebohongan-kebohongan dari mimpi-mimpi yang menina bobokan Kita seolah itu dongeng yang bijak? Padahal mereka hanya sedang berusaha saling menutupi aib mereka masing-masing hingga suatu saat bau busuk itu sudah semakin terendus, baru borok-borok dari dosa-dosa para elit akan menguap kepermukaan dan menjadi konsumsi publik. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah dimana arti kemerdekaan apabila sepicik itu tindak tanduk para elit bangsa Kita? Lalu, nasionalisme seperti apa yang bisa Kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan yang semula nyata tapi tampak semu kini di mata Kita?
         Sejumlah definisi mungkin lahir tentang kemerdekaan, ada yang merasa kemerdekaan adalah ketika Kita terbebas dari belnggu penjajah. Ada yang memaknai kemerdekaan adalah ketika Kita bebas berpikir dan mengemukakan pendapat dan masih banyak lagi lainnya. Semua pemikiran tersebut benar tapi jangan sampaikan diri Kita dulu pada sebuah kesimpulan. Mari Kita merujuk makna kemerdekaan dari para ulama. Mengapa? Tidak ada salahnya bukan terlebih seluruh umat muslim di dunia sedang menjalankan puasa dan bangsa Kita yang paling spesial karena kemerdekaan Kita jatuh pada bulan Ramadhan tepatnya 2 atau 3 hari sebelum Kita memasuki bulan Syawal dalam kalender Hijriah.
     Ada hal yang menarik pula ketika Saya mencoba merefleksikan kemerdekaan dengan menggunakan kacamata para ulama. Menariknya adalah ada empat kata yang senafas dengan makna kemerdekaan, dua kata diambil dari Al-Qur’an, satu dari Hadits dan terakhir dari makna budaya. Uniknya lagi keempat kata tersebut masuk dalam konsep Pancasila dan UUD 45 dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini Kita dianggap sekuler apabila hanya berbicara mengenai Pancasila, UUD 45 dan HAM tidak dalam satu garis lurus dengan Islam.
  1. Kemerdekaan adalah bebas dari tekanan atau penindasan dari pihak lain. Makna ini diambil dari kata “Itqun Minannar”. Kata ini diambiil dari hadits Nabi yang sering dikaitkan dengan keutamaan bulan ramadhan: “… awaluhu rahmah, wausatuhu maghfiroh, wa akhiruhu itqun minannar.” (…. puasa ramadhan itu awalnya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalha pembebasan dari api neraka).Konteks dari kata tersebut adalah bahwa kemerdekaan itu bisa tercipta manakala bisa terbebas dari penindasan, ancaman, intimidasi dari pihak-pihak lain. Misalnya rakyat Indonesia dikatakan merdeka, manakala tidak ada yang memaksa, tidak ada yang mengancam, tidak ada yang mengintimidasi, inilah makna hakikat “merdeka”. Jika masih ada ancaman, intimidasi penekanan pihak satu dengan pihak lain itu artinya belum merdeka. Itulah makna “merdeka” yang diambil dari kata “itqun minannaar”, yang berarti terbebas dari siksaan.
  2. Kedua, Kemerdekaan berarti menghilangkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat, menciptakan tatanan masyaarakat yang sederajat. Memuliakan antara satu sama lain, kesetaraan, tidak ada kelas dalam masyarakat, masing-masing memiliki hak sebagai bangsa tanpa membedakan kultur dan kelasnya.Makna itu terambil dari kata “Fatahriru Roqobah”. Kata ini cukup banyak terdapat dalam al Quran. misalnya dalam satu ayat pada Annisa: 92 saja ada tiga kata. Kata “tahrir” dan “khurriyah” dalam bahasa Arab artinya “merdeka”. Makna “merdeka” yang diambil dari ungkapan al quran itu adalah: “asyrofuhum, yuqolu huwa hurriyatu min qoumih.” Artinya, memuliakan masyarakat satu dengan yang lain, itulah makna merdeka yang sesungguhnya. Merdeka berarti jika seseorang itu menjadi mulia, tidak ada kelas di dalam kehidupan manusia; tidak ada kasta, tidak ada “nomor satu”, tidak “nomor dua”, tidak ada ningrat, tidak ada suku yang merasa unggul. Lebih mudahnya, konteks di Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 45, setiap warga negara sederajat tidak ada ras, agama dan apapun yang merasa nomor satu atau nomor dua, tetapi masing-masing menghormati, memuliakan satu sama lain. Dalam tatanan dunia ada HAM yang juga senafas dengan ungkapan ini, bahwa setiap manusia sederajat. Bukankah juga dalam quran pun menyebutkan bahwa manusia di hadapan tuhan sama. Dengan jelas al quran yang menyebutkan “Inna akromakum ‘indallahi atqoqum.” Sesungguhnya yang mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Jika masih ada yang merasa “tuan”, atau masih ada yang menganggap “itu anak buah saya”, berarti secara pribadi belum ada kemerdekaan dalam dirinya. Padahal pengertian manusia semuanya sama di hadapan Allah. Tidak ada budak, tidak ada kelas.
  3. Ketiga, merdeka diambil dari kata Fakku roqobah. Artinya, melepaskan budak dari perbudakan. Diambil dari ayat Al Qur’an “Wamaa adroka mal ‘aqobah, fakku roqobah” (Al Balad: 12-13). Kata “fakku” di sini pengertianya “merdeka“.Lebih jelasnya, kemerdekaan itu bisa tercapai, manakala bisa tampil bersama-sama antara satu individu dengan individu lain, atau antar kelompok satu dengan lainnya. Dalam praktek hukum maka mestinya masing-masing komponen bangsa tidak pandang bulu. Jika hukum masih bersembunyi di belakang layar, sedangkan yang tampil adalah “uang”, ini berarti belum “merdeka”. Sebab hukum tidak pandang bulu, di mata hukum semuanya sama.
  4. Keempat, merdeka diambil dari kata Istiqlal. (Masjid Istiqlal = masjid merdeka). Pengertian istiqlal menurut para ulama adalah (taffarroda bihi walam yusyrik fiih) Artinya: Mandiri. Tidak mau dicampur tangani oleh pihak lain. Sebuah bangsa yang “merdeka” (istiqlal) berarti tidak bisa dicampurtangani negara lain. Negara merdeka berarti negara itu mandiri, memanej diri sendiri, bukan negara boneka, bukan negara yang diatur oleh negara lain. Kalau saja masih ada intervensi negara lain artinya belum merdeka.Demikian juga bila makna istiqlal bagi individu artinya, seorang individu dikatakan merdeka jika sudah terbebas dari pengaruh “duniawi”, masih dipengaruhi oleh jabatan atau oleh macam-macam rayuan dan godaan lainnya, itupun belum dikatakan mandiri namanya, alias belum merdeka.
Kesimpulannya, Pertama, merdeka adalah fakku roqobah, negara dikatakan merdeka jika bebas dari intimidasi. Merdeka dari rasa ketakutan. Sebab betapa banyak negara yang ditakut-takuti oleh pihak lain. Kedua, merdeka adalah hurriyah artinya tidak ada kelas-kelasan. Ketiga, merdeka adalah fakku, tidak ada tukar-tukaran maksudnya merdeka dari hukum. Keempat diambil dari kata Istiqlal, merdeka berarti tidak ada campur tangan dengan pihak lain alias mandiri. Dalam konsep agama orang yang masuk syurga adalah mereka yang “merdeka”, bukan hamba sahaya. Kenapa dikatakan merdeka, karena bagi si hamba akan merdeka jika hidupnya murni hanya kepada Allah; tidak merasa takut kecuali kepada Allah; tidak merasa cinta kecuali kepada Allah; tidak melakukan penyembahan kecuali kepada Allah. Itulah yang sebenar-benarnya yang merdeka dalam konsep para ulama.
Pendeknya, konsep ulama (syariat) yang diambil dari naskah-naskah wahyu tentang kemerdekaan itu tidak bertentangan dengan UUD, Pancasila dan HAM (Hak Asasi Manusia). Jika apa yang dipaparkan di atas belum bisa dipraktekkan pada bangsa ini, itu artinya belum merasakan makna “kemerdekaan” baik merdeka secara individu atau secara kebangsaan. Karena itu tugas perjuangan ulama/tentara zaman dahulu telah berhasil melepaskan belenggu negara ini dari penjajahan. Sementara giliran kita, memperjuangan kemerdekaan itu agar benar-benar terwujud makna “merdeka” sehingga connect bainal teks wal konteks, bersambung antara tekstual dan kontekstual.
Inilah yang Saya maksudkan bahwa sebagai masyarakat Indonesia jangan terbelunggu dalam pikiran-pikiran yang separatis dan terlalu menganggap segala sesuatu yang berbau nasionalisme itu adalah sekuler. Pun begitu pula Kita sebagai masayarakat yang bernegara jangan dibutakan oleh kata nasionalisme dan kemerdekaan. Inilah yang dimaksud dengan nasionalisme yang berpikir bukan sekedar mengumbar erotisme baik erotisme nasional maupun agama. Jadikan mereka berjalan beriringan jangan mencari cela satu dengan yang lainnya. Berjuanglah dengan apa yang Kita bisa lakukan hari ini dan lakukan walau sekecil apapun, kalaupun kondisi tidak juga berubah ketika Kita hidup paling tidak Kita telah menitipkan sejumput pengetahuan yang nantinya akan menjadi asa yang kemudian akan berkobar lewat letupan api semangat dalam dada anak-anak muda generasi penerus bangsa yang akan terus hidup untuk mengisi kemerdekaan. Nasionalisme yang berpikir bukan sekedar mengumbar erotisme belaka. Dirgahayu Indonesia, Dirgahayu Bangsaku, Untukmu Jiwa Raga Kami !!! Pekikan kemerdekaan, MERDEKA !! SALAM INDONESIA RAYA.

Source : Kompasiana
0 Comments
Comments Tweets
Comments Facebook

0 komentar:

 
Top