Salah satu tujuan pembelajaran adalah agar terciptanya perubahan pada diri para pelajar/siswa di dalam tiga aspek (kognitif, afektif dan psikomotorik).
Baik itu pembelajaran yang dilakukan secara formal maupun non formal.
Dari kekuatan ketiga aspek tersebut diharapkan nantinya menjadi modal
awal yang sangat berharga guna meraih apa yang dicita-citakan para
pembelajar di masa depannya. Akan tetapi saat ini perubahan yang
diharapkan seakan tampak lamban dan semakin mengendur. Perubahan yang
terjadi tak lebih dari sekadar meningkatnya kuantitas tanpa diimbangi
peningkatan kualitas.
Mencermati permasalahan di atas tentunya
banyak faktor penyebab yang menjadi penghambat tercapainya tujuan
esensial proses pembelajaran. Salah satunya adalah faktor intrinsik yang
ada pada diri individu pelajar/siswa itu sendiri. Faktor tersebut di
antaranya adalah menjangkitnya penyakit futur (lemah semangat)
yang sering dialami para pelajar/siswa saat menjalani proses
pembelajaran. Seringkali para pelajar/siswa merasa kurang dan bahkan
tidak bersemangat di dalam belajarnya, sehingga proses belajar yang
dijalaninya tidak disertai motivasi tinggi dan kesungguhan yang kuat
untuk benar-benar mendapatkan ilmu-ilmu yang hendak dipelajari.
Adapun
fenomena seperti yang demikian itu disebabkan karena di sebagian besar
benak hati para pelajar/siswa masih belum tertanam keinginan untuk
menciptakan perubahan bagi dirinya sendiri. Takut bermimpi, tidak
memiliki visi serta tidak ada keinginan bercita-cita tinggi untuk
kemaslahatan masa depannya sendiri. Para pelajar/siswa belum sepenuhnya
mengerti betul efek dari pentingnya proses pembelajaran yang ditempuhnya
saat ini terhadap keberhasilan di masa depannya nanti. Singkatnya para
pelajar/siswa belum sepenuhnya memiliki mimpi, visi dan cita-cita yang
jelas yang hendak diraihnya. Terlalu sederhana jika landasan belajar
hanya sekadar untuk mendapatkan ijazah agar bisa diterima bekerja.
Banyak
di antara para pelajar/siswa yang terbilang cerdas, rajin berangkat ke
sekolah namun sekadar untuk menggugurkan kewajibannya sebagai seorang
siswa dan karena perintah orang tua saja; mengisi absensi, mendengarkan
guru menyampaikan materi, mengerjakan tugas serta menyelesaikan setumpuk
pekerjaan rumah (PR) yang dibebankan guru-guru kepadanya. Sedang mereka
sendiri tidak tahu sebenarnya apa yang menjadi target masa depannya.
Mimpinya masih kabur, visi hidupnya ngawur, cita-citanya masih terkubur.
Alhasil motivasi pun luntur, semangat belajar lemah tiada gairah.
Di
salah satu sekolah tingkat menengah penulis pernah mencoba mengajukan
pertanyaan kepada siswa-siswinya tentang apa yang menjadi cita-citanya.
Ternyata masih banyak pelajar/siswa yang belum memiliki cita-cita yang
jelas. Mereka seakan kaget, bengong dan kebingungan dalam memberikan
jawaban. Masih blank melihat target pencapaian masa depannya.
Sekalipun saat itu dirinya telah berada di kelas jurusan/kejuruan
sekolah tertentu. Adapun di antara mereka yang menjawab, jawabannya
masih bersifat abstrak dan tidak terukur. Semisal: “Saya ingin menjadi
orang baik”, “saya ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan
bangsa”, “saya ingin menjadi orang sukses” dsb yang sejenis. Meskipun
jawaban-jawaban seperti demikian itu tidaklah salah akan tetapi bagi
pelajar setingkat sekolah menengah seharusnya mereka sudah memiliki
orientasi terhadap masa depannya dengan target yang jelas.
Tentu
sangat mengkhawatirkan apalagi jika para pelajar setingkat SMA, SMK, MA,
masih kebingungan dalam menentukan target pencapaian masa depan. Kelabu
dalam memilih cita-cita dan mentok dalam menemukan visi hidupnya. Jika
demikian adanya bagaimana mereka akan semangat dalam belajar? Sementara
belajar adalah bagian dari proses menuju sukses di masa depannya.
Kenyataan
demikian tentunya menjadi bahan pemikiran dan bahan evaluasi kita
bersama terutama bagi kalangan para pendidik/guru jika tujuan
pembelajaran ingin benar-benar terealisasikan seperti yang selama ini
diharapkan. Bukan sekadar memikirkan melainkan juga memberikan
kontribusi dengan langkah real dalam rangka mendobrak jiwa-jiwa
para pelajar/siswa agar mereka mau bermimpi, menciptakan visi serta
berani bercita-cita tinggi sehingga mereka menemukan energi dalam
belajar. Adapun langkah-langkah yang bisa ditempuh di antaranya adalah:
Pertama,
jadilah sang pemimpi. “Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati…”,
itulah kata-kata yang diucapkan Arai kepada Ikal temannya saat dia
(Ikal) berhenti untuk bermimpi dan bercita-cita. Dan ternyata terbukti,
gara-gara ia (Ikal) berhenti bermimpi akhirnya nilai pelajarannya pun
menurun drastis. Padahal Ikal adalah termasuk anak cerdas yang
sebelumnya berprestasi.
Dari penggalan cerita novel karya Andrea Hirata yang berjudul sang pemimpi
di atas kita menemukan gambaran bahwa ketika seorang pelajar/siswa
berhenti untuk bermimpi saat itu pula motivasi belajarnya pun akan ikut
mati. Mungkin apalagi jika seorang pelajar/siswa tidak mau dan atau
tidak mempunyai mimpi? Padahal banyak pemimpin besar yang berangkat dari
seorang pemimpi. Ada pepatah yang mengatakan: “Bermimpilah sebelum kamu
menjadi pemimpin” dan “Belajarlah engkau sebelum menjadi pemimpin”.
Akhirnya kita mengerti, menstimulasi para pelajar/siswa untuk berani
bermimpi adalah langkah awal terutama bagi para pengajar/guru dalam
memotivasi siswa-siswinya sehingga mereka semangat dalam belajar. Para
pengajar/guru sepatutnya khawatir jika anak didiknya untuk bermimpi saja
takut apalagi untuk meraihnya? Jadikan para pelajar/siswa sang pemimpi.
Kedua,
miliki visi. Memiliki visi yang jelas adalah suatu keharusan agar
belajar lebih bergairah, termasuk pada saat menjalani proses
pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah. Dengan memiliki visi
seorang pelajar/siswa akan dapat memvisualisasikan mimpi masa depannya
secara rapi, sehingga akan tumbuh motivasi untuk selalu berusaha
menjalani prosesnya yakni belajar dengan benar. Tumbuh semangat dalam
belajar sejak dini, mau mencicil prestasi sebelum ia sampai pada visi
inti yang menjadi orientasi. Menurut penelitian, yang dikemukakan Satria
Hadi Lubis; “Anak-anak yang memiliki gambaran peran yang berorientasi
pada masa depan berhasil lebih baik di sekolah dan lebih handal dalam
mengatasi tantangan hidup”. Dengan demikian visi dalam diri setiap
pelajar/siswa adalah harga mati. Jika demikian adanya maka menanamkan
visi dalam diri para pelajar/siswa adalah satu keniscayaan.
Ketiga, miliki cita-cita. Solikhin Abu Izzuddin
dalam bukunya zero to hero mengatakan: “Kadang orang takut punya
cita-cita, karena takut untuk mencapainya. Padahal cita-cita merupakan
energy yang menggerakkan jiwa, menggerakkan pikiran untuk kreatif,
menggerakkan badan untuk aktif, menggerakkan seluruh tubuh untuk
mencapai tujuan. Cita-cita adalah ruh yang menjadikan seorang tetap
bertahan”. Menjadi pribadi pelajar/siswa yang memiliki cita-cita adalah
sama artinya dengan memasok energi motivasi tinggi untuk selalu siap
menempuh dan menjalani proses belajar dengan benar. Sebab keberhasilan
(pembelajaran) tidak semata-mata diukur pada hasil tapi juga pada
proses. Bukan sekadar belajar tapi belajar yang disertai kedisiplinan
dan keteraturan yang mengarah pada target masa depan yang pasti. Menukil
kata-kata Bapak Iwan Kartiwa (salah satu guru SMA penulis) dalam
tulisannya yang berjudul Belajar dari Kisah Laskar Pelangi
(dimuat redaksi sumek edisi Rabu, 6/03/13) beliau mengatakan bahwa:
“Orang yang tidak memiliki mimpi dan cita-cita adalah orang yang tidak
mempunyai arah hidup. Siapapun dia dan dari manapun asalnya perlu
memiliki mimpi dan cita-cita yang harus diperjuangkan dengan sekuat
kemampuan dalam hidupnya”.
Agar lebih memahami pentingnya menumbuhkan cita-cita di dalam diri para pelajar ada baiknya kita mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah film Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi
yang sarat pesan moral dan pendidikan. Terlebih bagi kalangan para
pendidik akan dapat melihat bagaimana lingkungan serta elemen pendidikan
mampu menumbuhkan semangat bercita-cita pada diri anak didiknya.
Sebagai contoh dalam film tersebut diceritakan: Alif (pemeran utama)
adalah anak yang berani mengukir mimpi semenjak ia duduk di bangku SMA.
Setelah lulus SMA Alif sangat berharap dirinya bisa melanjutkan
pendidikannya ke ITB (Institut Teknologi Bandung) karena cita-citanya
yang ingin mengikuti jejak langkah kesuksesan Prof. Bj. Habibie. Akan
tetapi Amaknya (ibu Alif) lebih memilih untuk menyekolahkannya (Alif) di
Pondok Madani lantaran keinginannya agar Alif menjadi orang sukses
bagai sosok Buya Hamka.
Singkat cerita Alif memilih patuh menuruti
keinginan orang tuanya melanjutkan sekolah di Pondok Madani meskipun
dengan perasaan setengah hati. Awal hari-harinya di Pondok Madani lebih
sering ia lalui dengan menyendiri tanpa semangat yang pasti. Namun
seiring berjalannya waktu Alif akhirnya menemukan energi dahsyat untuk
bertekad memantapkan belajar di sana secara sungguh-sungguh saat Alif
disentak oleh teriakan penuh semangat dari Ustadz Salman (wali kelas)
dengan “mantra”: “Man Jadda Wajada!” “Siapa yang bersungguh-sungguh
pasti akan berhasil”. “Mantra” inilah yang menggedor semangat dan
kegigihan Alif beserta kelima temannya (Baso, Atang, Said, Raja,
Dulmajid) untuk bersungguh-sungguh dalam belajar demi meraih
mimpi-mimpinya. Sejak itu Alif dan ke lima temannya mulai berpikir
visioner dan bercita-cita besar. Hingga masing-masing dari mereka
memiliki ambisi untuk menaklukkan dunia. Dari tanah Indonesia, Amerika,
Eropa, Asia hingga Afrika. Di bawah menara Madani, mereka berjanji dan
bertekad untuk bisa menaklukkan dunia dan mencapai cita-cita, menjadi
orang besar yang bisa bermanfaat bagi kehidupan orang banyak.
Demikianlah
pesan moral yang disampaikan film tersebut. Cita-cita perlu tumbuh
mengakar dan mengembang di setiap diri para pembelajar sehingga nantinya
berbuah motivasi. Motivasi untuk semangat serta sabar menjalani proses
hingga cita-cita terealisasi dengan sukses. Kembali Satria Hadi Lubis
mengatakan: “Motivasilah yang bertanggung jawab membuat seseorang sukses
atau gagal dalam hidupnya. Seseorang akan sukses jika ia mempunyai
motivasi yang besar untuk meraihnya. Sebaliknya, jika tidak memiliki
motivasi maka kegagalanlah yang akan diterima”.
Penting bagi para
pembelajar untuk memiliki mimpi, visi dan cita-cita jika semangat
belajarnya ingin terus tumbuh. Apabila ruh dari ketiga unsur tersebut
(mimpi, visi, cita-cita) telah melekat dalam benak hati tiap
pelajar/siswa maka akan tumbuh motivasi yang siap membakar penyakit futur
(lemah semangat). Hingga akhirnya memunculkan efikasi diri, yaitu
keinginan untuk sukses yang dilandasi keyakinan diri untuk berprestasi.
“Efikasi akan memberikan dorongan kepada seseorang untuk mendayakan
potensi yang dimilikinya. Para pelajar yang memiliki efikasi diri yang
baik akan menjelma menjadi pribadi yang gigih, ulet dan penuh percaya
diri”. (Dwi Budiyanto dalam bukunya Prophetic Learning).
Akhirnya,
sebagai penutup tulisan singkat ini penulis berharap semoga di dalam
diri generasi para pelajar saat ini tumbuh kemauan untuk bermimpi,
keinginan untuk mencipta visi dan berani mengukir cita-cita tinggi.
Sehingga gelombang motivasi tetap mengalir terkendali. Tidak surut meski
riak ujian menerpa, tidak hanyut meski keterbatasan melanda. Terus
belajar hingga menjadi pakar, meniti prestasi hingga puncak tertinggi,
mencetak karya menyejarah yang mengabadi sebagai bekal kehidupan hari
ini, saat nanti hingga di akhirat kelak. Aamiin.