Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما
“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang
wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka
berdua.” (HR. Ahmad 1/18, Ibnu Hibban [lihat Shahih Ibnu Hibban 1/436], At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184, dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no. 430)
ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita
tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad dari hadits Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil jilid 6 no. 1813)
لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم فقام رجل فقال يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في غزوة كذا وكذا قال ارجع فحج مع امرأتك
“Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan
seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut.’
Lalu berdirilah seseorang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, istriku
keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad
pada perang ini dan itu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, ‘Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu.'” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim 2/975)
Faedah:
Kalau ada yang berkata, “Namun bagaimana dengan sebagian shohabiaat yang berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa mahrom?”
Tidaklah boleh bagi seorang wanita untuk bersafar tanpa mahrom
kecuali tatkala hijrah dari Mekah ke Madinah karena keburukan dan bahaya
yang ada di kota Mekah saat itu yang menyebabkannya lari lebih bahaya
dan lebih buruk dari perkara yang ditakutkannya menimpa dirinya (jika ia
bersafar tanpa mahrom). Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Ma’ith dan
para wanita yang lain telah berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa
mahrom. Demikian juga hadirnya seorang wanita dalam majelis persidangan
di hadapan hakim tanpa mahrom, hal ini adalah darurat karena
dikawatirkan hilangnya hak penuntut. Demikian juga tatkala seorang
wanita yang belum nikah melakukan perzinahan maka ia disingkan tanpa
mahromnya karena hal ini adalah hukuman hadd baginya. (Syarhul ‘Umdah 2/177-178).
Apa maksud perkataan Nabi “syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua”?
Al-Munawi berkata, “Yaitu syaitan menjadi penengah (orang ketiga)
diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan)
dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa
malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak
indah dihadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitanpun menyatukan
mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan
mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu
perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan
mereka kepada perzinahan.” (Faidhul Qodir 3/78).
As-Syaukani berkata, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita
karena demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada
wanita, demikian juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat
untuk menikah. Demikian juga wanita senang kepada lelaki karena
sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh
karena itu syaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu
kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.” (Nailul Autor 9/231).
Imam An-Nawawi berkata, “…Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahamnya, dan dua perkara ini merupakan ijma’ (para ulama).” (Al-Minhaj 14/153).
Apakah yang Dimaksud dengan Mahrom??
Berkata As-Suyuthi, “Para sahabat kami (para pengikut madzhab
Syafi’i) mengatakan, Mahrom adalah wanita yang diharamkan untuk dinikahi
untuk selama-lamanya baik karena nasab maupun dikarenakan sebab
tertentu yang dibolehkan dan dikarenakan kemahroman wanita tersebut.”
Definisi ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 9/413, dan ini merupakan definisi Imam An-Nawawi, (Al-Minhaj 14/153) dimana beliau berkata: المحرم هو كل من حرم عليه نكاحها على التأبيد لسبب مباح لحرمتها
Dari definisi ini maka diketahui bahwa:
- (wanita yang diharamkan untuk dinikahi), maka bukanlah mahrom anak-anak paman dan anak-anak bibi (baik paman dan bibi tersebut saudara sekandung ayah maupun saudara sekandung ibu).
- (untuk selama-lamanya), maka bukanlah mahrom saudara wanita istri dan juga bibi (tante) istri (baik tante tersebut saudara kandung ibu si istri maupun saudara kandung ayah si istri) karena keduanya bisa dinikahi jika sang istri dicerai, demikian juga bukanlah termasuk mahrom wanita yang telah ditalak tiga, karena ia bisa dinikahi lagi jika telah dinikahi oleh orang lain kemudian dicerai. Demikian juga bukanlah termasuk mahrom wanita selain ahlul kitab (baik yang beragama majusi, budha, hindu, maupun kepercayaan yang lainnya) karena ia bisa dinikahi jika masuk dalam agama Islam.
- (dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan), maka bukanlah mahrom ibu yang dijima’i oleh ayah dengan jima’ yang syubhat (tidak dengan pernikahan yang sah) dan juga anak wanita dari ibu tersebut. Ibu tersebut tidak boleh untuk dinikahi namun ia bukanlah mahrom karena jima’ syubhat tidak dikatakan boleh dilakukan.
- (dikarenakan kemahroman wanita tersebut), maka bukan termasuk mahrom wanita yang dipisah dari suaminya karena mula’anah (Mawahibul Jalil 4/116), karena wanita tersebut diharamkan untuk dinikahi kembali oleh suaminya yang telah melaknatnya selama-lamanya namun bukan karena kemahroman wanita tersebut namun karena sikap ketegasan dan penekanan terhadap sang suami. (Al-Asybah wan Nadzoir 1/261).
Dan jika telah jelas bahwa sang wanita adalah mahromnya maka tidak
boleh baginya untuk menikahinya dan boleh baginya untuk memandangnya dan
berkhalwat dengannya dan bersafar menemaninya, dan hukum ini mutlak
mencakup mahrom yang disebabkan karena nasab atau karena persusuan atau
dikarenakan pernikahan. (Al-Asybah wan Nadzoir 1/262).
Peringatan:
Berkata Imam An-Nawawi, “Yang dimaksud mahrom dari sang wanita ajnabiah yang jika ia berada bersama sang wanita maka boleh bagi seorang pria untuk duduk (berkhalwat) bersama wanita ajnabiah tersebut, disyaratkan harus merupakan seseorang yang sang pria ajnabi
sungkan (malu/tidak enak hati) dengannya. Adapun jika mahrom tersebut
masih kecil misalnya umurnya dua atau tiga tahun atau yang semisalnya
maka wujudnya seperti tidak adanya tanpa ada khilaf.” (Al-Majmu’ 4/242).
Apakah yang Dimaksud dengan Khalwat?
Anas bin Malik berkata,
جاءت امرأة من الأنصار إلى النبي صلى الله عليه وسلم فخلا بها فقال والله إنكم لأحب الناس إلي
“Datang seorang wanita dari kaum Ansor kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat
dengannya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Demi Allah
kalian (kaum Anshor) adalah orang-orang yang paling aku cintai.'” (HR. Al-Bukhari no. 5234, Kitabun Nikah)
Imam Al-Bukhori memberi judul hadits ini dengan perkataannya,باب ما
يجوز أن يخلو الرجل بالمرأة عند الناس “Bab: Dibolehkannya seorang
laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita jika di hadapan khalayak.”
Ibnu Hajar berkata, “Imam Al-Bukhori menyimpulkan hukum (dalam judul tersebut dengan perkataannya) “di hadapan khalayak” dari perkataan Anas bin Malik dari riwayat yang lain (*) “Maka Nabi pun berkhalwat dengannya di sebagian jalan atau sebagian السكك (sukak).” Dan السكك, adalah jalan digunakan untuk berjalan yang biasanya selalu dilewati manusia.”
(*) Diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1812):
عن أنس أن امرأة كان في عقلها شيء فقالت يا رسول الله إن لي إليك حاجة
فقال يا أم فلان انظري أي السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك فخلا معها في بعض
الطرق حتى فرغت من حاجتها
“Dari Anas bin Malik bahwasanya seorang wanita yang peikirannya
agak terganggu berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai
Rasulullah, saya punya ada perlu denganmu,’ maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada
jalan mana saja yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu.’ Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat dengan wanita tersebut
di sebuah jalan hingga wanita tersebut selesai dari keperluannya.”
Ibnu Hajar berkata, “Yaitu ia tidak berkhalwat dengan wanita tersebut
hingga keduanya tertutup dari pandangan khalayak (tersembunyi dan tidak
kelihatan-pen), namun maksudnya dibolehkan khalwat jika (mereka berdua
kelihatan oleh khalayak) namun suara mereka berdua tidak terdengar oleh
khalayak karena ia berbicara dengannya perlahan-lahan, contohnya karena
suatu perkara yang wanita tersebut malu jika ia menyebutkan perkara
tersebut di hadapan khalayak.”
Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan:
- Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama wanita tersebut, yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala itu, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang di sekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya.” (Fathul Bari 9/413. Adapun perkataan Imam Nawawi bahwa “kemungkinan wanita tersebut adalah mahrom Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Ummu Sulaim dan saudara wanitanya.” (Al-Minhaj 16/68), maka kuranglah tepat karena sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim bahwa wanita tersebut pikirannya agak terganggu, dan ini bukanlah merupakan sifat Ummu Sulaim).
- Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia. Berkata Al-Qodhi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniah tentang sifat penegak amar ma’ruf nahi mungkar, “Jika ia melihat seorang pria yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati (orang-orang) dan tidak nampak dari keduanya tanda-tanda yang mencurigakan maka janganlah ia menghardik mereka berdua dan janganlah ia mengingkari. Namun jika mereka berdua berdiri di jalan yang sepi maka sepinya tempat mencurigakan maka ia boleh mengingkari pria tersebut dan hendaknya ia jangan segera memberi hukuman terhadap keduanya khawatir ternyata sang pria adalah mahrom sang wanita. Hendaknya ia berkata kepada sang pria -jika ternyata ia adalah mahrom sang wanita- jagalah wanita ini dari tempat-tempat yang mencurigakan. -Dan jika ternyata wanita tersebut adalah wanita ajnabiah- hendaknya ia berkata kepada sang pria, ‘Aku ingatkan kepadamu dari bahaya berkhalwat dengan wanita ajnabiah yang bisa menjerumuskan.’”
Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata:
والخلوة المحرمة هي ما كانت مع إغلاق لدار أو حجرة أو سيارة ونحو ذلك أو مع استتار عن الأعين، فهذه خلوة محرمة وكذا ضبطها الفقهاء
“Dan khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup
(mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang semisalnya atau
tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang
terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya.”
Jadi khalwat yang diharamkan ada dua bentuk sebagaimana dijelaskan
oleh Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dan bukanlah merupkan kelaziman bahwa
ruangan yang tertutup melazimkan juga tertutupnya dari pandangan
khalayak.
Jika ada yang mengatakan, “Berdasarkan definisi khalwat yang
diharamkan di atas maka berdua-duaannya seorang wanita dan pria di
emperan jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua
orang memandang mereka??”
Memang benar hal itu bukanlah merupakan khalwat yang diharamkan,
namun ingat diantara hikmah diharamkan khalwat adalah karena khalwat
merupakan salah satu sarana yang mengantarakan kepada perbuatan zina,
sebagaimana mengumbar pandangan merupakan awal langkah yang akhirnya
mengantarkan pada perbuatan zina. Oleh karena itu bentuk khalwat yang
dilakukan oleh kebanyakan pemuda meskipun jika ditinjau dari hakikat
khalwat itu sendiri bukanlah khalwat yang diharamkan, namun jika
ditinjau dari fitnah yang timbul akibat khalwat tersebut maka hukumnya
adalah haram. Para pemuda-pemudi yang berdua-duaan tersebut telah jatuh
dalam hal-hal yang haram lainnya seperti saling memandang antara satu
dengan yang lainnya, sang wanita mendayu-dayukan suaranya dengan
menggoda, belum lagi pakaian sang wanita yang tidak sesuai dengan
syari’at, dan lain sebagaianya yang jauh lebih parah. Khalwat yang
asalnya dibolehkan ini namun jika tercampur dengan hal-hal yang haram
ini maka hukumnya menjadi haram. Khalwat yang tidak aman dari munculnya
fitnah maka hukumnya haram.
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini (yaitu hadits Anas di atas) menunjukan akan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang wanita ajnabiah
(bukan mahrom) dengan pembicaraan rahasia (diam-diam), dan hal ini
bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika ia aman dari
fitnah. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Aisyah وأيكم يملك إربه
كما كان النبي يملك إربه “Dan siapakah dari kalian yang mampu
menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bisa menahan syahwatnya.” (Fathul Bari 9/414).
Sa’id bin Al-Musayyib berkata,
لقد بلغت ثمانين سنة وأنا أخوف ما أخاف على النساء
“Aku telah mencapai usia delapan puluh tahun dan yang paling aku takutkan adalah para wanita.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Musonnaf-nya 7/17, ia berkata, “Telah
menyampaikan kepada kami Aswad bin ‘Amir, (ia berkata), ‘Telah
menyampaikan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid dari
Sa’id bin Al-Musayyib…’”).
Dalam riwayat yang lain dari Ali bin Zaid bin Jad’an bahwasanya Sa’id berkata, “Tidaklah
syaitan berputus asa dari (menggoda) sesuatu kecuali ia mencari jalan
keluar dengan mempergunakan para wanita (sebagai senjatanya untuk
menggoda)”, Ali bin Zaid bin Jad’an berkata, “Kemudian Sa’id
berkata (padahal waktu itu ia telah berumur 84 tahun dan matanya yang
satu tidak bisa digunakan untuk melihat lagi, dan mata yang satunya lagi
rabun): ‘Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada para
wanita.’” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4/373 no. 5452 dengan sanadnya hingga Ali bin Al-Madini dari Sufyan dari Ali bin Zaid bin Jad’an).
Rasulullah bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada finah para wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 [Kitabun Nikah] dan Mulim no. 97,98 [Kitab Adz-Dzikir])
Abdurrouf Al-Munawi mengomentari hadits ini, “Hal ini dikarenakan
seorang wanita tidaklah menyuruh suaminya kecuali kepada perkara-perkara
yang buruk, dan tidak memotivasinya kecuali untuk melakukan keburukan,
dan bahaya wanita yang paling minimal adalah ia menjadikan suaminya
cinta kepada dunia hingga akhirnya binasa dalam dunianya, dan kerusakan
apa yang lebih parah dari hal ini, belum lagi wanita adalah sebab
timbulnya mabuk asmara dan fitnah-fitnah yang lainnya yang sulit untuk
dihitung.”
Ibnu Abbas berkata,
لم يكفر من كفر ممن مضى إلا من قبل النساء وكفر من بقي من قبل النساء
“Tidaklah kafir orang-orang terdahulu kecuali dikarenakan para
wanita dan demikian juga dengan orang-orang yang di masa mendatang.”
Para raja mengirimkan hadiah-hadiah kepada para ahli fikih maka
mereka pun menerima hadiah tersebut, adapun Fudhail ia menolak hadiah
tersebut. Istrinya pun berkata kepadanya, “Engkau menolak sepuluh ribu (dinar atau dirham) padahal kita tidak memiliki makanan untuk dimakan pada hari ini?”, Fudhail pun menimpali, “Permisalan
antara aku dan engkau (wahai istriku) sebagaimana suatu kaum yang
memiliki seekor sapi yang mereka membajak dengan menggunakan sapi
tersebut, tatkala sapi tersebut telah tua maka mereka pun
menyembelihnya. Demikianlah aku, engkau ingin menyembelihku setelah aku
mencapai usia senja, lebih baik engkau mati dalam keadaan lapar sebelum
engkau menyembelih Fudhail.” (Al-Faidul Qodir 5/436).
Dari Imron bin Abdillah, Sa’id bin Al-Musayyib berkata,
ما خفت على نفسي شيئا مخافة النساء
“Tidaklah aku takut pada sesuatu menimpa diriku sebagaimana ketakutanku kepada (fitnah) para wanita.”
Para sahabat beliau berkata,
يا أبا محمد إن مثلك لا يريد النساء ولا تريده النساء قال هو ما أقول لكم
“Wahai Abu Muhammad, orang yang sepertimu tidak menghendaki para wanita dan para wanita pun tidak menghendakinya!”
Sa’id berkata, “Kenyataannya sebagaimana yang telah aku katakan kepada kalian.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tobaqoot Al-Kubro
(5/136) ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Ashim, ia
berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Salam bin Miskin, ia berkata,
“Telah menyampaikan kepada kami ‘Imron bin ‘Abdillah,” ‘Ato’ berkata,
لو ائتمنت على بيت مال لكنت أمينا ولا آمن نفسي على أمة شوهاء
“Jika aku diberi kepercayaan untuk menjaga baitul mal (tempat
penyimpanan harta kaum muslimin) maka aku akan menjalankan amanah
tersebut, namun aku tidak bisa menjamin diriku dari seorang budak wanita
yang cantik.”
Imam Ad-Dzahabi mengomentari perkataan ‘Ato ini,
صدق رحمه الله ففي الحديث ألا لايخلون رجل بامرأة فإن ثالثهما الشيطان
“Sungguh benar perkataan ‘Ato’ -semoga Allah merahmati beliau- sebagaimana telah disebutkan dalam hadits, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.’” (Siyar A’lam An-Nubala 5/87-88).
Maka sungguh benarlah perkataan Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthoki (beliau meninggal tahun 239 H),
من كان بالله أعرف كان منه أخوف
“Barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka ia akan lebih takut kepada Allah.” (Al-Bidayah wan Nihayah 10/318, Bugyatut Tolab fi Tarikh Al-Halab 2/750).
Lihatlah para salaf seperti Sa’id bin Al-Musayyib yang tidaklah
pernah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id telah
berada di mesjid (Tahdzibut Tahdzib 4/87), demikian juga ‘Ato yang Ibnu Juraij berkata tentangnya,
كان المسجد فراش عطاء عشرين سنة وكان من أحسن الناس صلاة
“Mesjid adalah tempat tidur ‘Ato’ selama dua puluh tahun, dan beliau adalah orang yang paling baik sholatnya.” (Siyar A’lam An-Nubala 5/84, Tahdzibul Kamal 20/80, Tarikh Ibnu ‘Asakir 40/392, Hilyatul Auliya’ 3/310).
Dengan ibadah mereka yang luar biasa tersebut maka mereka lebih
mengenal Rob mereka shingga mereka lebih takut kepada Allah, takut kalau
diri mereka terjerumus dalam kemaksiatan. Tidak sebagaimana halnya
sebagian kaum muslimin yang merasa percaya diri untuk terselamatkan dari
fitnah, apalagi fitnah yang sangat berbahaya yaitu fitnah wanita???
Dan diharamkan berkhalwatnya seseorang dengan lawan jenisnya yang
bukan merupakan mahromnya, dan hal ini umum mencakup seluruh bentuk, dan
sama saja apakah disertai nafsu syahwat ataupun tidak, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berkhalwat secara mutlak baik disertai syahwat maupun tidak.
Dikatakan kepada Abul Qosim An-Nasr Abadzi, “Sebagian orang duduk
(bergaul) dengan para wanita dan mereka berkata, “Saya bisa terjaga
untuk tidak memandang mereka.” Ia pun berkata, “Selama jasad masih utuh
maka perintah dan larangan juga tetap berlaku dan penghalalan dan
pengharaman juga tetap ditujukan dengan keduanya (yaitu perintah dan
larangan) dan tidaklah memberanikan diri kepada syubhat-syubhat kecuali
orang yang menjerumuskan dirinya untuk jatuh dalam hal-hal yang haram.” (Syaradzatuz Dzahab 3/58, Tobaqoot As-Sufiah 1/364).
Peringatan:
- Diharamkan berkhalwatnya seorang wanita dengan hewan yang bisa tertarik dan bernafsu kepada seorang wanita seperti monyet, karena dikawatirkan terjadinya fitnah (hal yang tidak diinginkan) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Aqil dan Ibnul Jauzi, serta Syaikh Taqiyuddin. (Kasyful Qina’ 5/16).
- Orang yang banci bersama seorang wanita hukumnya ia seperti seorang pria (maka berlaku hukum-hukum khalwat), dan demikian juga jika bersama banyak wanita. Dan jika bersama seorang pria maka ia hukumnya seperti seorang wanita, demikian juga jika ia bersama banyak lelaki, dalam rangka untuk berhati-hati. (Al-Majmu’ 4/241).
- Berkhalwat dengan seorang amrod (anak muda yang belum tumbuh rambut wajahnya) yang berparas tampan hukumnya sebagaimana khalwat bersama seorang wanita, meskipun khalwat tersebut untuk kemaslahatan belajar mengajar atau pendidikan. Imam Ahmad berkata kepada seseorang yang berjalan bersama seorang anak yang tampan yang merupakan keponakan orang tersebut; “Menurutku hendaknya engkau tidak berjalan bersamanya di jalan.” Ibnul Jauzi berkatam “Para salaf berkata tentang amrod: “وهو أشد فتنة من العذارى” “Fitnahnya lebih besar daripada fitnah wanita perawan.” (Kasyful Qona’ 5/16). Berkata Ibnu Katsir, “Banyak salaf yang mengatakan bahwa mereka melarang seorang pria menajamkan pandanganya (menatapi dengan serius) kepada amrod.” (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir surat 24 ayat 30). Berkata Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah), “Barangsiapa yang mengulangi pendangannya kepada amrod dan terus memandangnya lantas ia berkata ‘Aku tidak memandangnya dengan syahwat,’ maka ia telah berdusta.” (Matholib Ulin Nuha 5/19). Berkata Imam An-Nawawi, “Imam As-Syafi’i menyatakan akan haramnya memandang (wajah) amrod, dan jika memandang saja haram maka berkhalwat dengan amrad lebih haram lagi karena hal itu lebih jelek dan lebih dekat kepada mafsadah dan hal yang dikawatirkan (jika berkhalwat bersama seorang wanita) juga ada (jika berkhalwat dengan amrod.” (Al-Majmu’ 4/241).
Hukum Memandang Amrod (Mukhtasor Al-Fatawa Al-Mishriyah 1/29-30)
Berkata Ibnu Taimiyah, “Memandang amrod dengan syahwat hukumnya haram
dan ini merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, demikian juga
memandang kepada para wanita yang merupakan mahrom (namun dengan
syahwat) dan berjabat tangan dengan mereka serta berledzat-ledzat dengan
mereka. Barangsiapa yang mengatakan bahwa hal ini adalah ibadah maka ia
telah kafir, dan dia seperti orang yang menjadikan bantuan kepada orang
yang ingin berbuat nista sebagai ibadah, bahkan memandang kepada
pepohonan, kuda, dan hewan-hewan jika dengan perasaan menganggap indah
dan baik dunia, kekuasaan dan kepemimpinan, seta harta benda, maka
pandangan seperti ini tercela sebagaimana firman Allah:
ولا تمدن عينيك إلى ما متعنا به أزواجا منهم زهرة الحياة الدنيا لنفتنهم فيه ورزق ربك خير وأبقى
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah
Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga
kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu
adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. 20:131)
Adapun jika pandangan tersebut dengan perasaan tanpa merendahkan
agama, namun dengan pandangan tersebut timbul rileks jiwa seperti
memandang bunga-bunga maka ini termasuk kebatilan yang dimanfaatkan
untuk kebenaran.
Terkadang seseorang memandang kepada orang lain karena keimanan dan
ketakwaan yang dimiliki oleh orang yang dipandang tersebut maka
pandangan yang seperti ini patokannya adalah hati dan amal orang yang
dipandang tersebut bukan karena rupa orang itu.
Terkadang seseorang memandang orang tersebut karena keindahan rupa
orang tersebut sehingga mengingatkan dia akan Dzat yang menciptakan rupa
tersebut (yaitu Allah) maka pendangan seperti ini baik.
Terkadang seseorang memandang orang lain hanya karena keindahan
rupanya. Maka masing-masing model memandang di atas kapan saja disertai
dengan nafsu maka hukumnya haram tanpa diragukan lagi, sama saja apakah
syahwat yang menimbulkan syahwat untuk berjima’ ataupun tidak. Dan
berbeda antara perasaan seseorang tatkala memandang bunga-bunga dengan
perasaannya tatkala memandang wanita dan amrod, dikarenakan perbedaan
ini maka dibedakan juga dalam hukum syar’inya, maka jadilah memandang
kepada amrod ada tiga macam:
- Jika pandangan tersebut disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram.
- Yang dibolehkan karena tidak disertai dengan syahwat seperti seseorang yang wara’ yang memandang kepada putranya yang tampan dan putrinya yang cantik. Pandangan yang seperti ini tidak disertai dengan syahwat kecuali dilakukan oleh orang yang paling fajir. Kapan saja pandangan ini disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram. Oleh karena itu barangsiapa yang hatinya tidak condong kepada amrod sebagaimana para sahabat, sebagaimana sebuah umat yang tidak pernah mengenal kemaksiatan yang nista ini. Seorang dari mereka tidak membedakan antara pandangannya kepada wajah amrod dengan pandangannya kepada putranya, putra tetangganya, anak kecil ajnabi. Sama sekali tidak terbetik dihatinya syahwat, karena ia tidak terbiasa dengan hal itu, hatinya bersih. Budak-budak wanita di zaman para sahabat keluar berjalan di jalan-jalan dalam keadaan terbuka wajah-wajah mereka dan mereka melayani (membantu) para lelaki dan hati-hati mereka dalam keadaan bersih. Kalau di negeri ini dan saat ini ada orang yang ingin membiarkan budak-budak wanitanya dari Turki berjalan di jalan-jalan maka akan timbul kerusakan. Demikian pula dengan amrod-amrod yang tampan, tidak dibenarkan untuk keluar di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dikhawatirkan mereka akan terkena fitnah kecuali sebatas keperluan. Maka tidaklah mungkin pemuda amrod yang tampan berjalan santai atau duduk di tempat pemandian umun diantara lelaki asing…
- Hanyalah timbul perbedaan pendapat diantara para ulama pada jenis yang ketiga yaitu memandang kepada para amrod tanpa disertai syahwat, namun ada kekawatiran akan timbulnya gejolak syahwat, maka ada dua pendapat pada madzhab Imam Ahmad. Dan yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang juga merupakan pernyataan Imam As-Syafi’i dan yang lainnya yaitu tidak boleh. Pendapat yang kedua boleh, karena yang merupakan asal adalah tidak timbulnya gejolak syahwat. Pendapat pertamalah yang lebih benar.
Barangsiapa yang berlama-lama memandang amrod lalu mengatakan bahwa
ia tidak memandangnya dengan syahwat maka ia telah berdusta, karena
kalau memang tidak ada sesuatu (yaitu syahwat) yang mendorongnya untuk
terus memandang tentunya ia tidak akan memandang. Sesungguhnya ia tidak
mengulangi pandangannya kepada amrod kecuali karena ada keledzatan yang
terdapat dalam hatinya.”
Hukum berkhalwatnya seorang pria dengan beberapa wanita tanpa mahrom
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum berkhalwatnya seorang pria dengan wanita ajnabiah jika jumlah wanita tersebut lebih dari satu, demikian juga sebaliknya (berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki ajnabi).
Berkata Imam An-Nawawi, “Tidak ada perbedaan tentang diharamkannya berkhalwat antara tatkala sholat maupun di luar sholat.” (Al-Majmu’ 4/242).
Imam An-Nawawi berkata, “Berkata para sahabat kami (yang bermadzhab
Syafi’i), jika seorang pria mengimami seorang wanita yang merupakan
mahromnya dan berkhalwat dengannya maka tidaklah mengapa dan sama sekali
tidak makruh karena boleh baginya untuk berkhalwat dengannya di luar
shalat. Dan jika ia mengimami seorang wanita ajnabiah dan
berkhalwat dengannya maka hukumnya adalah haram… dan jika ia mengimami
banyak wanita yang ajnabiah dengan kondisi berkhalwat bersama mereka
maka ada dua pendapat. Jumhur ulama berpendapat akan bolehnya
hal itu… karena para wanita yang berkumpul biasanya tidak memungkinkan
seorang laki-laki untuk berbuat sesuatu hal yang buruk terhadap salah
seorang dari mereka dihadapan mereka. Imamul Haromain dan
penulis buku Al-‘Uddah menukil bahwasanya Imam As-Syafii menyatakan
bahwa diharamkannya seorang pria mengimami beberapa wanita kecuali
diantara wanita tersebut ada mahrom pria tersebut atau istrinya. Dan
Imam As-Syafii meyakinkan akan haramnya berkhalwatnya seorang pria
dengan para wanita kecuali jika ada mahrom pria tersebut bersama
mereka.” (Al-Majmu’ 4/241).
Renungkanlah betapa tegasnya Imam As-Syafii dalam pengharaman kholwat
antara wanita dan pria, sampai-sampai beliau mengharamkan seorang
laki-laki mengimami para wanita (dalam keadaan berkhalwat dengan mereka)
kecuali jika ada diantara wanita tersebut mahrom sang imam atau istri
sang imam. Padahal ini dalam keadaan beribadah yang sangat agung (yaitu
sholat) yang tentunya orang yang sedang sholat jauh dari pikiran-pikiran
yang kotor, selain itu sang imam pun berada di depan dan para wanita
berada dibelakangnya sehingga ia tidak melihat mereka, namun demikian
Imam Syafi’i tetap mengharamkan hal ini.
Berkata As-Sarkashi, “…Kemakruhan (atau keharoman) hal ini (menurut
Imam As-Syafi’i-pen) tidak akan hilang hingga ada diantara para wanita
tersebut mahrom mereka, sebagaimana dalam hadits Anas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat mengimami mereka di rumah mereka, Anas pun berkata, “Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan aku dan seorang anak
yatim di belakangnya (pada shaf pertama) dan menjadikan ibuku dan Ummu
Sulaim di belakang kami.” (HR. Al-Bukhari 1/149, Muslim 1/457)(*).
Karena dengan adanya mahrom hilanglah kekhawatiran akan timbulnya
fitnah, dan hal sama saja apakah mahrom tersebut adalah mahrom bagi
semua wanita tersebut atau hanya merupakan mahrom bagi sebagian mereka
dan diperbolehkan sholat dalam seluruh keadaan tersebut, karena
kebencian (terhadap khalwat tersebut) berada jika di luar sholat.” (Al-Mabshuth karya As-Sarkashi 1/166).
(*) Lengkap haditsnya (-ed):
عن أنس بن مالك أن جدته مليكة دعت رسول الله صلى الله عليه وسلم لطعام
صنعته له فأكل منه ثم قال قوموا فلأصل لكم قال أنس فقمت إلى حصير لنا قد
اسود من طول ما لبس فنضحته بماء فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم وصففت
أنا واليتيم وراءه والعجوز من ورائنا فصلى لنا رسول الله صلى الله عليه
وسلم ركعتين ثم انصرف
“Dari Anas bin Malik ia berkata bahwasanya neneknya (yang
bernama) Mulaikah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
memakan makanan yang telah dibuatnya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam. Maka Nabi pun memakannya kemudian ia shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata, ‘Marilah sholat aku akan mengimami kalian.’ Anas
berkata, ‘Maka akupun mengambil sebuah tikar milik kami yang sudah
menghitam karena telah lama dipakai lalu akupun memercikkan air pada
tidak tersebut.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri (untuk
sholat) dan aku bersama seorang anak yatim berdiri satu shaf di
belakang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang yang tua (yaitu
nenek beliau) di belakang kami. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sholat dua rakaat kemudian beliau berpaling (selesai dari
sholat).”
Peringatan:
- Berkata Imam An-Nawawi, “Dan sama hukumnya tentang diharamkannya
berkhalwat antara orang yang buta dengan orang yang bisa melihat.” (Al-Majmu’ 4/242).
- Beliau juga berkata, “Ketahuilah bahwasanya mahrom yang dengan keberadaannya bersama sang wanita membolehkan untuk duduk (berkhalwat) dengan sang wanita adalah sama saja baik mahrom tersebut adalah mahrom sang pria maupun mahrom sang wanita, atau yang semakna dengan mahrom seperti suami sang wanita atau istri sang pria, wallahu a’lam.” (Al-Majmu’ 4/242).
- Diharamkannya berkhalwatnya seorang wanita dengan seorang pria meskipun dengan alasan dalam rangka pengobatan kecuali bersama wanita tersebut mahrom, atau suaminya, atau wanita tsiqoh (yang bisa dipercaya). Karena kenyataan yang banyak terjadi memang benar terkadang hanya terdapat dokter lelaki yang bisa menangani penyakit seorang wanita dengan penanganan yang baik dan terjamin walaupun karena darurat maka sang dokter harus melihat aurat wanita tersebut. Namun yang perlu diperhatikan tidak semua pengobatan keadaannya darurat yang mengharuskan tidak boleh sang wanita ditemani oleh mahromnya. Apalagi merupakan kenyataan yang menyedihkan banyak dari para wanita yang jika mereka bertemu dengan dokter pria maka seakan-akan dokter tersebut adalah mahromnya.
Hukum Berkhalwatnya Seorang Wanita dengan Beberapa Lelaki (lebih dari satu orang)
عبد الله بن عمرو بن العاص حدثه أن نفرا من بني هاشم دخلوا على أسماء
بنت عميس فدخل أبو بكر الصديق وهي تحته يومئذ فرآهم فكره ذلك فذكر ذلك
لرسول الله صلى الله عليه وسلم وقال لم أر إلا خيرا فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم إن الله قد برأها من ذلك ثم قام رسول الله صلى الله عليه
وسلم على المنبر فقال لا يدخلن رجل بعد يومي هذا على مُغِيْبَةٍ إلا ومعه
رجل أو اثنان
“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bahwasanya beberapa orang
dari bani Hasyim masuk (menemui) Asma’ binti ‘Umais, lalu Abu Bakar
masuk -dan tatkala itu Asma’ telah menjadi istri Abu Bakar As-Siddiq-
lalu Abu Bakar melihat mereka dan ia membenci hal itu, lalu iapun
menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
ia berkata, ‘Aku tidak melihat sesuatu kecuali kebaikan.’ Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah
menyatakan kesuciannya dari perkara tersebut (perkara yang jelek),’
kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar
dan berkata, ‘Setelah hari ini tidaklah boleh seorang laki-laki menemui
mughibah (yaitu seorang wanita yang suaminya sedang tidak berada di
rumah) kecuali bersamanya seorang laki-laki (yang lain) atau dua
orang.’” (HR. Muslim 4/1711, Shahih Ibnu Hibban 12/398).
Yang dimaksud dengan mughibah adalah wanita yang suaminya
sedang tidak berada di rumah, baik karena sedang bersafar keluar kota
maupun keluar dari rumah namun masih dalam kota, dalilnya adalah hadits
ini. Dikatakan bahwa Abu Bakar sedang tidak berada di rumah, bukan
sedang keluar kota. (Al-Minhaj 4/155).
Berkata Imam An-Nawawi, “Dzohir dari hadits ini menunjukan akan
bolehnya berkhalwatnya dua atau tiga orang lelaki dengan seorang wanita ajnabiah,
dan yang masyhur menurut para sahabat kami (yaitu penganut madzhab
syafi’iah) akan haramnya hal ini. Oleh karena itu hadits ini (bolehnya
berkhalwat) dibawakan kepada kepada sekelompok orang yang kemungkinannya
jauh untuk timbulnya kesepakatan diantara mereka untuk melakukan
perbuatan nista karena kesholehan mereka, atau muru’ah mereka dan yang lainnya.” (Al-Minhaj 4/155).
Adapun para ulama yang mengatakan akan bolehnya berkhalwatnya seorang
wanita dengan beberapa lelaki mereka menyaratkan bahwa para lelaki
tersebut merupakan orang-orang yang terpercaya dan tidak bersepakat
untuk melakukan hal yang nista terhadap wanita tersebut.
Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun berkholwatnya dua orang lelaki atau
lebih dengan seorang wanita maka yang masyhur adalah haramnya hal ini
dikarenakan bisa jadi mereka para lelaki tersebut bersepakat untuk
melakukan hal yang keji (zina) terhadap wanita itu. Dan dikatakan bahwa
jika mereka adalah termasuk orang-orang yang jauh dari perbuatan seperti
itu maka tidak mengapa.” (Al-Majmu’ 4/241).
Peringatan:
Diantara perkara yang dianggap remeh oleh masyarakat namun sangat
berbahaya adalah berkhalwatnya kerabat suami (yang bukan mahrom istri)
dengan istrinya.
عن عقبة بن عامر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إياكم والدخول
على النساء فقال رجل من الأنصار يا رسول الله أفرأيت الحمو قال الحمو الموت
“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘Waspadailah diri kalian dari masuk (menemui) para
wanita!’, lalu berkatalah seseorang dari kaum Anshor, ‘Wahai Rasulullah,
bagaimana menurutmu dengan Al-Hamwu?’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata, ‘Al-Hamwu adalah maut (kematian).’” (HR. Al-Bukhari no. 5232)
Berkata Ibnu Hajar, “Larangan masuk (terhadap kerabat suami) untuk
menemui para wanita menunjukan bahwa larangan untuk berkhalwat lebih
utama untuk dilarang (min bab aula).” (Fathul Bari 9/411).
Imam Nawawi berkata, “Para ulama bahasa telah sepakat bahwa الأحماء Al-Ahmaa’ adalah karib kerabat suami seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, sepupu, dan yang semisalnya, dan الأختان Al-Akhtan adalah karib kerabat dari istri, dan الأصهار Al-Ashhar mencakup keduanya (Al-Ahmam dan Al-Akhtaan)…dan yang dimaksud dengan Al-Ahmam
disini adalah kerabat karib suami selain ayahnya dan anak-anaknya(*),
karena mereka adalah mahrom bagi sang istri dan boleh bagi mereka untuk
berkhalwat dengannya dan mereka tidak disifati dengan maut, namun yang
dimaksudkan di sini adalah saudara laki-laki sang suami, paman, sepupu,
dan yang semisalnya yang bukan merupakan mahrom bagi sang wanita dan
kebiasaan masyarakat mereka menggampangkan hal ini (kurang peduli) dan
membiarkan seseorang berkhalwat dengan istiri saudaranya. Inilah maut,
dan kerabat seperti ini lebih utama untuk dilarang daripada laki-laki
asing (yang tidak ada hubungan kerabat).” (Al-Minhaj 14/154).
(*) Adapun Al-Maziri, maka beliau menyatakan bahwa makna Al-Hamwu adalah bapak suami, dan pendapat inipun diikuti oleh Ibnul Atsir dalam An-Nihayah, namun dzahirnya Ibnul Atsir juga tidak membatasi makna Al-Hamwu pada bapak sang suami tapi ia memang Al-Hamwu itu adalah umum mencakup seluruh kerabat suami tanpa mengecualikan bapak dan anak-anak suami. Beliau berkata, Al-Hamwu, “Kerabat-kerabat suami.” (An-Nihayah 1/440) Berkata Imam An-Nawawi, “Ini adalah pendapat yang rusak dan tertolak.” (Al-Minhaj
14/154). Ibnu Hajar menjelaskan bahwa penafsiran dan penjelasan para
imam menunjukan bahwa pendapat ini bukanlah pendapat yang rusak. (Fathul Bari 9/412).
Al-Maziri mengisyaratkan bahwa disebutkannya bapak suami untuk dilarang masuk menemui mughibah sebagai peringatan bahwa pelarangan terhadap selain bapak suami terlebih lagi. (Al-Fath 9412).
Ibnul Atsir berkata, “Jika menurut sang suami bahwa bapaknya adalah
maut (jika masuk ke dalam rumahnya dan ia dalam keadaan tidak di rumah)
-padahal ia adalah mahrom istrinya- bagaimana jika yang masuk adalah
orang asing??!, maksudnya yaitu ‘Lebih baik ia (sang istri) mati saja
dan janganlah ia (sang istri) melakukannya (membiarkan ada yang masuk
rumahnya tanpa kehadiran sang suami)’…, ia berkata, ‘Maknanya adalah
berkhalwatnya Al-Hamwu bersama sang istri lebih berbahya daripada berkhalwat dengan orang asing, karena terkadang jika Al-Hamwu
tersebut berbuat baik pada sang istri atau memintanya untuk melakukan
perkara-perkara yang menurut suami adalah hal yang berat seperti mencari
sesuatu yang di luar kemampuan sang suami maka jadilah rusaklah
hubungan antara suam istri karena hal itu. Dan karena seorang suami
tidak suka jika Al-Hamwu mengetahui urusan dalam keluarganya jika ia masuk dalam rumahnya.” (An-Nihayah 1/440).
Ibnu Hajar mengomentari perkataan Ibnul Atsir ini, “Seakan-akan perkataannya Al-Hamwu maut yaitu mesti terjadi dan tidak mungkin mencegah sang istri dari masuknya Al-Hamwu,
sebagaimana kematian itu tidak bisa dihindari. Dan pendapat yang
terakhir ini dipilih oleh Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah) dalam Syarhul ‘Umdah.” (Al-Fath 9/413).
Makna Perkataan Al-Hamwu adalah Maut (kematian)
Imam An-Nawawi berkata, “Maknanya bahwa ketakutan terhadap Al-Hamwu
lebih daripada terhadap yang lainnya, dan kerusakan lebih mungkin
terjadi dan fitnah lebih besar karena memungkinkannya untuk sampai
kepada sang wanita dengan tanpa diingkari. Berbeda dengan seseorang yang
asing (yang tidak punya hubungan kerabat dengan suami).”
Ibnul ‘Arabi berkata, “Ini adalah ungkapan yang dikatakan oleh
orang-orang Arab, sebagaimana dikatakan “Singa adalah maut (kematian)”,
yaitu bertemu dengannya seperti kematian”. Berkata Al-Qodhi, “Maknanya
bahwa berkhalwat dengan Al-Ahma’ menjerumuskan kepada fitnah dan kebinasaan dalam agama, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
pun menjadikan perkara ini seperti kebinasaan, maka ungkapan seperti
ini untuk penegasan dengan keras.” (Perkataan kedua ulama ini dinukil
oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj 14/154).
Al-Qurthubi berkata, “…(masuknya Al-Hamwu) menjerumuskan
sang wanita pada kematiannya dengan diceraikan oleh suaminya tatkala
cemburu atau ia dirajam jika berzina dengan al-hamwu tersebut.” (Umdatul Qori 20/214).
Imam An-Nawawi berkata, “Dan dikecualikan dari pengharaman (semua
bentuk berkhalwat) ini adalah kondisi-kondisi yang darurat seperti jika
seorang pria mendapati seorang wanita ajnabiah yang tersesat di tengah
daratan dan yang semisalnya, maka boleh baginya untuk menemani wanita
tersebut bahkan hal itu wajib atasnya jika sang pria mengkhawatirkan
keamanan dan kondisi sang wanita jika ia membiarkannya sendirian. Dan
hal ini tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama. Dalil yang
menunjukan akan hal ini adalah kisah Al-Ifk.” (Majmu’ 4/242).
Source : Muslim