Pada 17 Agustus 1945 esok, sudah 69 tahun lalu negeri ini merdeka dari
penjajahan fisik yang dilakukan negara-negara kolonialis. Umat Islam
punya andil terbesar dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Perayaan kemerdekaan tahun ini berada dalam suasana bulan Syawal 1435 H.
Suasana Hari Raya Idul Fitri, dan masih terasa takbir Idul Fitri.
Pekik takbir menjadi hal yang lazim dalam tiap peperangan mengusir para penjajah. Para pendiri bangsa ini pun mengakui secara tertulis bahwa nikmat kemerdekaan yang dinyatakan di bulan Ramadan tahun 1364 Hijriyah itu adalah ‘’atas berkat rahmat Allah’’. Namun, sangat disayangkan, kini hukum-hukum Allah makin terpinggirkan.
Para pengelola negeri ini lebih suka tunduk pada kehendak para pemegang kapital korporat asing, daripada tunduk pada Sang Pemberi nikmat sejati, Allah SWT. Akibat penjajahan ekonomi, budaya, politik dan hukum. Sumber daya alam luluh lantak, korupsi menggurita, rakyat makin miskin papa. Ibarat pepatah Melayu, habis arang besi binasa. Utang luar negeri makin menggunung. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia per April 2014 mencapai 276,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp3.300 triliun. Utang luar negeri ini tumbuh sebesar 7,6 persen dibandingkan posisi utang luar negeri April tahun 2013 lalu.
Belajar dari Sejarah
”Allah memerintahkan kami untuk membebaskan manusia dari memperhambakan diri kepada selain Allah dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam,’’ tegas Ruba’i lantang menjawab pertanyaan Panglima Rustum, pemimpin pasukan Persia dalam perang al-Qadhisiyah, tentang mengapa pasukan Islam masuk ke tanah Persia.
Dialog di atas terjadi menjelang perang al-Qadhisiyah. Adalah Ruba’i bin Amir, yang memang dikirim panglima tentara Islam ketika itu, Saad bin Abi Waqqash, untuk menghadap panglima tentara Persia, Rustum.
Saat itu Ruba’i bin Amir masuk tanpa menghiraukan keadaan mewah sekelilingnya. Ruba’i terus masuk dan membiarkan kaki kudanya mengotori hamparan permadani mewah itu. Segera ia menghadap panglima, dengan tetap menyandang senjata dan perisainya.
Melihat itu, para pembesar Persia segera berseru, ‘’Letakkan senjata itu!’’. Dengan tenang, Ruba’i menjawab, ‘’Aku kemari hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian senang biarkan aku dalam keadaanku seperti ini, atau kalau tidak aku akan pulang’’. Panglima Rustum menengahi, ‘’Biarkan ia menghadap’’. Akhirnya, Ruba’i menghadap panglima, dan terjadilah dialog seperti tersebut di atas.
Pernyataan Ruba’i itu menegaskan, dorongan ekspansi pembebasan wilayah (futuhat) oleh Islam bukan bersifat material, sebagaimana yang dilakukan kaum imperialis-kolonialis dari Barat beberapa abad silam ketika mereka merangsek ke wilayah-wilayah jajahan di Timur Tengah, Asia Selatan atau Asia Tenggara.
Barat berusaha keras menemukan daerah baru untuk dijajah dan dieksploitasi hasil buminya tanpa sisa. Inilah semangat ekspansi demi Gold, Glory and Gospel (emas, kekuasaan dan agama). Hal itu terbukti, dengan tak satu pun daerah bekas jajahan mereka -termasuk Indonesia- sepeninggal penjajah yang berubah jadi maju, makmur dan sejahtera. Sebaliknya, yang bersisa adalah derita, duka, dan nestapa.
Berbeda dengan Barat, Islam membebaskan manusia dari perbudakan. Tauhid adalah iman kepada Allah. Inilah kemerdekaan hakiki. Bebas dari penghambaan pada makhluk. Hanya tunduk pada Allah semata. Sejarah membuktikan hal ini. Setelah berjuang selama 13 tahun di Makkah, Rasulullah berhasil mewujudkan masyarakat Islam yang dicita-citakan di Madinah. Rasulullah memimpin dan mengatur masyarakat Madinah dengan syariat Allah SWT.
Jelas sekali, semangat penyebaran Islam berbeda sama sekali dengan yang dilakukan Barat. Islam tegak untuk rahmat atas segenap alam. Sementara, Kolonialisme Barat selamanya menyebarkan kejahiliyahan dan kerusakan.
Pekik takbir menjadi hal yang lazim dalam tiap peperangan mengusir para penjajah. Para pendiri bangsa ini pun mengakui secara tertulis bahwa nikmat kemerdekaan yang dinyatakan di bulan Ramadan tahun 1364 Hijriyah itu adalah ‘’atas berkat rahmat Allah’’. Namun, sangat disayangkan, kini hukum-hukum Allah makin terpinggirkan.
Para pengelola negeri ini lebih suka tunduk pada kehendak para pemegang kapital korporat asing, daripada tunduk pada Sang Pemberi nikmat sejati, Allah SWT. Akibat penjajahan ekonomi, budaya, politik dan hukum. Sumber daya alam luluh lantak, korupsi menggurita, rakyat makin miskin papa. Ibarat pepatah Melayu, habis arang besi binasa. Utang luar negeri makin menggunung. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia per April 2014 mencapai 276,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp3.300 triliun. Utang luar negeri ini tumbuh sebesar 7,6 persen dibandingkan posisi utang luar negeri April tahun 2013 lalu.
Belajar dari Sejarah
”Allah memerintahkan kami untuk membebaskan manusia dari memperhambakan diri kepada selain Allah dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam,’’ tegas Ruba’i lantang menjawab pertanyaan Panglima Rustum, pemimpin pasukan Persia dalam perang al-Qadhisiyah, tentang mengapa pasukan Islam masuk ke tanah Persia.
Dialog di atas terjadi menjelang perang al-Qadhisiyah. Adalah Ruba’i bin Amir, yang memang dikirim panglima tentara Islam ketika itu, Saad bin Abi Waqqash, untuk menghadap panglima tentara Persia, Rustum.
Saat itu Ruba’i bin Amir masuk tanpa menghiraukan keadaan mewah sekelilingnya. Ruba’i terus masuk dan membiarkan kaki kudanya mengotori hamparan permadani mewah itu. Segera ia menghadap panglima, dengan tetap menyandang senjata dan perisainya.
Melihat itu, para pembesar Persia segera berseru, ‘’Letakkan senjata itu!’’. Dengan tenang, Ruba’i menjawab, ‘’Aku kemari hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian senang biarkan aku dalam keadaanku seperti ini, atau kalau tidak aku akan pulang’’. Panglima Rustum menengahi, ‘’Biarkan ia menghadap’’. Akhirnya, Ruba’i menghadap panglima, dan terjadilah dialog seperti tersebut di atas.
Pernyataan Ruba’i itu menegaskan, dorongan ekspansi pembebasan wilayah (futuhat) oleh Islam bukan bersifat material, sebagaimana yang dilakukan kaum imperialis-kolonialis dari Barat beberapa abad silam ketika mereka merangsek ke wilayah-wilayah jajahan di Timur Tengah, Asia Selatan atau Asia Tenggara.
Barat berusaha keras menemukan daerah baru untuk dijajah dan dieksploitasi hasil buminya tanpa sisa. Inilah semangat ekspansi demi Gold, Glory and Gospel (emas, kekuasaan dan agama). Hal itu terbukti, dengan tak satu pun daerah bekas jajahan mereka -termasuk Indonesia- sepeninggal penjajah yang berubah jadi maju, makmur dan sejahtera. Sebaliknya, yang bersisa adalah derita, duka, dan nestapa.
Berbeda dengan Barat, Islam membebaskan manusia dari perbudakan. Tauhid adalah iman kepada Allah. Inilah kemerdekaan hakiki. Bebas dari penghambaan pada makhluk. Hanya tunduk pada Allah semata. Sejarah membuktikan hal ini. Setelah berjuang selama 13 tahun di Makkah, Rasulullah berhasil mewujudkan masyarakat Islam yang dicita-citakan di Madinah. Rasulullah memimpin dan mengatur masyarakat Madinah dengan syariat Allah SWT.
Jelas sekali, semangat penyebaran Islam berbeda sama sekali dengan yang dilakukan Barat. Islam tegak untuk rahmat atas segenap alam. Sementara, Kolonialisme Barat selamanya menyebarkan kejahiliyahan dan kerusakan.
Source/Write by :
Muhammadun
Aktivis Huzbuttahrir Riau
Aktivis Huzbuttahrir Riau